Sabtu, 29 September 2012

ALLAH, ROSULULLAH, IBU dan AYAH Merekalah Cinta Sejati Yang terlupakan

Benar sekali kata ustad Felix Siauw....Selama ini kita salah mengartikan Cinta sesungguhnya.

kita sibuk mencintai sesuatu yang sesungguhnya sesuat  itu kosong dan tidak ada timbal balik cinta.

sedangkan kita lupa ada yang Maha Mencintai...yang sudah mencintai kita sebelum bumi dan langit di ciptakan...dengan cintanya ia menciptakan kita dari setetes air mani hingga dewasa pun dengan cintanya ia merawat kita hingga Hari Pembalasan. (Dialah Allah Azzawajala)

Kita juga lupa seberapa cinta Rasulullah kepada kita umatnya...sampai ajal menjemput hanya ada kata "Umatti, Umatti, Umatti..."

Ibu dan Ayah orang terdekat yang cintanya tiada pernah terputus, menahan sakit, menahan ngantuk, menahan marah, menahan lapar hanya untuk kita anaknya..tapi sayang ketika besar kita malah memaki, memarahi, menghina dan malu bila harus berjalan bersama tubuh tuanya.

Ya Rabb....betapa bodoh kami...yang malah mencintai sesuatu yang salah.....Ya Rabb ampunkan Kami..dan jadikan kami manusia yang selalu berada di jalan-MU...Aamiin

Jumat, 28 September 2012

Membuat Anak Bangga Menjadi Muslim

FATO: mazzulfa.wordpress
Kalimat yang baik dan teladan terbaik akan membuat seorang anak mampu melakukan hal luar biasa untuk meneguhkan Islam di muka bumi. Seorang anak yang masih duduk di kelas dua SD berkata pada ibunya bahwa ia tidak ingin menjadi orang Islam. Dengan lugasnya ia berkata, menjadi orang Islam itu tidak enak. Orang Islam harus shalat lima waktu, harus lapar dan haus ketika berpuasa, tidak boleh makan ini dan itu, dan yang lebih “parah” orang Islam itu galak-galak. Kalau tidak bisa hafalan dihukum, kalau masuk masjid dan bermain di dalamnya dimarahi karena berisik dan bikin kotor masjid, dan kalau tidak shalat dipukul! “Aku nggak mau jadi orang Islam!” tegas si anak.
Sebagai seorang ibu atau ayah, semestinya kita menyadari bahwa pernyataan-pernyataan seperti itu sesungguhnya muncul dari kemampuan anak untuk menilai. Sikap ini dipicu dari keinginan hati seorang manusia untuk mendapatkan ketenangan dari “sesuatu yang Agung” yang diyakininya. Kelak, hal ini juga akan mempengaruhi sikapnya untuk meyakini sesuatu yang benar.
Membuka Dialog
Oleh karena itu, hal pertama yang harus dipahami oleh kita sebagai orangtua adalah penyebab timbulnya sikap atau pernyataan tersebut. Untuk mengetahui penyebabnya, tentu sikap yang terbaik adalah dengan tidak langsung menghakimi anak. Berkata kepada anak, “Hus, itu dosa!” atau bahkan memarahi anak hanya akan membuatnya semakin merasa bahwa menjadi orang Islam sungguh tidak enak.
Alangkah lebih baik, jika kemudian orang tua justru tidak menampakkan reaksi keterkejutan dari pertanyaan atau pernyataan anak lalu membuka kesempatan untuk berdialog. Dalam sebuah teori psikologi dikatakan, untuk dapat menyentuh hati anak, maka kita harus menerima dan mengerti terlebih dahulu pendapat mereka.
Ada baiknya kita menanyakan kepada anak, peristiwa apa yang melatarbelakangi sikapnya tersebut. Bila kemudian yang membuatnya mengatakan bahwa jadi orang Islam tidak enak karena harus mendirikan shalat lima waktu setiap hari, sebaiknya kita menanyakan kepadanya apa yang membuatnya merasa berat mendirikan shalat. Bisa jadi ia enggan shalat karena terlalu lelah.
Seorang anak pernah memohon kepada ayahnya “Ayah, aku tidak shalat Maghrib ya. Aku capek sekali.” Ternyata anak tersebut bersekolah di sekolah terpadu dan baru pulang jam empat sore sehingga ia merasa sangat lelah untuk shalat Maghrib.
Akan tetapi, apa pun jawaban yang dilontarkan oleh anak, kita harus siap menerima dan menanggapinya dengan menyenangkan. Karena, inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam manakala menasehati sahabat, termasuk anak-anak. Rasulullah selalu memilih waktu yang tepat, dalam perumpamaan yang menarik, dan sesuai dengan kemampuan penerimanya. Tak kalah penting, Rasulullah juga bersabda, “Berilah berita gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit.”(Riwayat Muslim)
Kalimat yang Baik
Begitupun segala hal yang kita contohkan kepada anak, sedapat mungkin senantiasa menghadirkan kenyamanan pada anak. Sehingga, bila ada hal-hal di luar yang mengusiknya dan bertentangan dengan hal yang didapatkan di dalam rumah, maka yang menjadi rujukan dasarnya adalah apa yang didapatnya di dalam rumah.
Seperti dalam kasus shalat lima waktu. Bila di dalam rumah anak telah terbiasa mendapatkan suasana yang menyenangkan, maka apa pun yang terjadi saat ia shalat di luar rumah, ia akan tetap meyakini bahwa shalat sesunguhnya menyenangkan.
Menggunakan kalimat yang baik dan menyenangkan, tentu adalah kunci terpenting untuk menanamkan kecintaan anak pada ajaran Islam. Karena itu, pilihlah baik-baik kalimat yang akan kita lontarkan kepada anak. Ada kalanya kita ingin mengajarkan kepada anak tentang keindahan shalat tetapi kalimat yang biasa didengar oleh anak, justru mengekspresikan betapa beratnya shalat.
Waspadalah dengan kalimat, “Waduh, sudah jam segini, pekerjaan Ibu belum selesai, mana belum shalat lagi!” atau, “Kamu jangan berisik, ayah mau shalat.” Kalimat pertama akan menghadirkan kesan bahwa shalat adalah sesuatu yang menambah beban dan kalimat kedua justru akan membuat anak merasa bahwa shalat adalah sesuatu yang memisahkannya dengan orang tua.
Akan lebih indah didengar dan dirasa, manakala seorang anak mendengar, “Pekerjaan Ibu masih banyak, sekarang Ibu mau shalat dulu, supaya lebih bersemangat,” Dengan kalimat seperti itu, anak akan mendapatkan pengertian bahwa shalat adalah penyemangat ketika lelah dan pekerjaan masih bertumpuk. Satu hal lagi, shalat itu pasti menyenangkan karena sang ibu tentu akan mengatakan kalimat seperti itu dengan wajah yang tersenyum. Berbeda dengan kalimat sebelumnya yang pasti terlontar dengan wajah tegang dan gusar.
Kalimat yang baik, inilah metode dasar memberikan pemahaman tentang Islam, termasuk pada anak. Sebagaimana yang dititahkan oleh Allah dalam al-Qur`an surat An-Nahl (16) ayat 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Kalimat-kalimat yang baik pula yang kelak akan memotivasi anak untuk mencintai agamanya dan bangga menjadi seorang Muslim. Tanpa kalimat-kalimat terbaik yang memuat motivasi kuat, seorang anak tidak akan pernah mampu memandang masa depannya dan selamanya terkungkung dalam ketidakmampuan yang membelit kedua orang tuanya saat ini.
Kisah bagaimana seorang Sultan Muhamammad Al-Fatih adalah salah satu pelajaran bagi kita tentang kekuatan kalimat yang baik. Al-Fatih yang terlahir menjadi sultan Turki di bawah bayang-bayang kekuasaan Romawi yang tak terkalahkan, setiap hari senantiasa diyakinkan oleh kakeknya, Syamsuddin Al Waliy yang juga sekaligus gurunya, bahwa suatu hari kelak ia akan menaklukan benteng Romawi yang berdiri kokoh di Konstantinopel.
Di dalam dirinya selalu dipompakan motivasi untuk menjadi sang penakluk yang kelak membawa panji-panji Islam di Konstantinopel. Padahal, ketika itu tak satupun cara yang dapat dilakukan berbagai bangsa untuk dapat menembus benteng Romawi yang kokoh tersebut. Akan tetapi, keyakinannya akan kekuasaan Allah sekaligus kebanggaannya terhadap agama yang diperjuangkannya, menjadikannya yakin bahwa janji Allah di surat Ar-Ruum ayat 1-2 pasti akan terwujud.
Terbukti kemudian Al-Fatih mampu merebut benteng Konstantinopel dengan strategi spektakuler yang tak pernah diduga siapapun.
Inilah kekuatan kalimat-kalimat yang baik. Kalimat-kalimat yang menanamkan pemahaman tentang indahnya Islam, hingga membuat seorang anak bangga menjadi seorang Muslim. Kalimat yang baik juga teladan terbaik yang membangkitkan kekuatan luar biasa yang ada di dalam dirinya untuk kemuliaan Islam di hari esok. *Kartika Trimarti, penulis ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat. SUARA HIDAYATULLAH, AGUSTUS 2011

Rasulullah Merindukan Umat Akhir Zaman



Suasana di majelis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu. Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Sayyidina Abu Bakar. Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan sedemikian.

Seulas senyuman yang sedia terukir di bibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah warna.

“A

pakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Sayyidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut pikiran.

“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan),” suara Rasulullah bernada rendah.

“Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.

Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersuara,
“Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka.”
**

Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ Baginda :

“Siapakah yang paling ajaib imannya?” tanya Rasulullah.
“Malaikat,” jawab sahabat.
“Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa dekat dengan Allah,” jelas Rasulullah.

Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, “Para nabi.”
“Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka.”

“Mungkin kami,” celah seorang sahabat.
“Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada di tengah-tengah kalian,” pintas Rasulullah menyangkal hujjah sahabatnya itu.

“Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih mengetahui,” jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.

“Kalau kamu ingin tahu siapa mereka, mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Qur’an dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku,” jelas Rasulullah.

“Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka,” ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.

Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. Bukan bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang suci. Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan terbuktikan dengan kesungguhan beramal dengan sunnahnya.

Dan insya Allah umat akhir zaman itu adalah kita. Pada kita yang bersungguh-sungguh mau menjadi kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta yang dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan Baginda Rasulullah saw.
Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma’in

Tikar Usang dan Lapuk milik Rasul



Suatu hari ‘Umar bin Khaththab r.a. menemui Rasulullah SAW di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk. Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau. Di salah satu sudut kamar itu t
erdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).

Air mata ‘Umar bin Khaththab r.a. meleleh. Ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi pimpinan tertinggi umat Islam itu. Rasulullah SAW melihat air mata ‘Umar r.a. yang berjatuhan, lalu bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?”
‘Umar r.a. menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar,

“Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan Kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!”

Lalu Rasulullah SAW menjawab dengan senyuman di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”

‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)



Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini.”
Lalu, Rasulullah SAW menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)



Betapa Rasulullah SAW sangat sederhana. Ia menyadari bahwa akhirat jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya

KISAH LELAKI YANG MEMPUNYAI 4 ISTRI


Suatu ketika, ada seorang pedagang kaya yang mempunyai 4 orang istri.
Dia mencintai istri yang keempat, dan menganugerahinya harta dan kesenangan yang banyak.
Sebab, dialah yang tercantik diantara semua istrinya. Pria ini selalu memberikan yang terbaik buat istri keempatnya ini.

Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ketiga. Dia sangat bangga dengan istrinya ini, dan selalu berusaha untuk
memperkenalkan wanita ini kepada semua temannya.
Namun, ia juga selalu khawatir kalau istrinya ini akan lari dengan pria yang lain.

Begitu juga dengan istri yang kedua. Ia pun sangat menyukainya. Ia adalah istri yang sabar dan pengertian.
Kapanpun pedagang ini mendapat masalah, dia selalu meminta pertimbangan istrinya ini.
Dialah tempat bergantung. Dia selalu menolong dan mendampingi suaminya, melewati masa-masa yang sulit.

Sama halnya dengan istri yang pertama. Dia adalah pasangan yang sangat setia. Dia selalu membawa perbaikan bagi
kehidupan keluarga ini. Dia lah yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan usaha sangsuami.
Akan tetapi, sang pedagang, tak begitu mencintainya.
Walaupun sang istri pertama ini begitu sayang padanya, namun, pedagang ini tak begitu mempedulikannya.

Suatu ketika, si pedagang sakit. Lama kemudian, ia menyadari, bahwa ia akan segera meninggal.
Dia meresapi semua kehidupan indahnya, dan berkata dalam hati. “Saat ini, aku punya 4 orang
istri. Namun, saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan jika aku harus hidup sendiri.”

Lalu, ia meminta semua istrinya datang, dan kemudian mulai bertanya pada istri keempatnya. “Kaulah yang paling
kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan yang indah. Nah, sekarang, aku akan mati, maukah kau mendampingiku dan menemaniku? Ia terdiam. “Tentu saja tidak, “jawab istri keempat, dan pergi begitu
saja tanpa berkata-kata lagi.

Jawaban itu sangat menyakitkan hati. Seakan-akan, ada
pisau yang terhunus dan mengiris-iris hatinya.

Pedagang yang sedih itu lalu bertanya pada istri ketiga.
“Akupun mencintaimu sepenuh hati, dan saat ini, hidupku akan berakhir.
Maukah kau ikut denganku, dan menemani akhir hayatku?
Istrinya menjawab, Hidup begitu indah disini. Aku akan
menikah lagi jika kau mati. Sang pedagang begitu terpukul dengan ucapan ini. Badannya mulai merasa demam.

Lalu, ia bertanya pada istri keduanya. “Aku selalu berpaling padamu setiap kali mendapat masalah. Dan kau selalu mau
membantuku. Kini, aku butuh sekali pertolonganmu. Kalau ku mati, maukah kau ikut dan mendampingiku? Sang istri menjawab pelan. “Maafkan aku,” ujarnya “Aku tak bisa menolongmu kali ini. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur saja. Nanti, akan kubuatkan makam yang indah buatmu.
Jawaban itu seperti kilat yang menyambar. Sang pedagang kini merasa putus asa.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara. “Aku akan tinggal denganmu. Aku akan ikut kemanapun kau pergi. Aku, tak akan
meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu. Sang pedagang lalu menoleh ke samping, dan mendapati istri pertamanya disana. Dia tampak begitu kurus. Badannya tampak seperti orang yang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, “Kalau saja, aku bisa merawatmu lebih baik saat ku mampu, tak akan kubiarkan kau seperti ini, istriku.”
Renungan :

Teman, sesungguhnya kita punya 4 orang istri dalam hidup ini.
Istri yang keempat, adalah tubuh kita. Seberapapun banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah, semuanya akan hilang. Ia akan pergi segera kalau kita meninggal. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap-Nya.

Istri yang ketiga, adalah status sosial dan kekayaan.
Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada yang lain.
Mereka akan berpindah, dan melupakan kita yang pernah memilikinya.

Sedangkan istri yang kedua, adalah kerabat dan teman-teman.
Seberapapun dekat hubungan kita dengan mereka, mereka tak akan bisa bersama kita selamanya.
Hanya sampai kuburlah mereka akan menemani kita.

Dan, teman, sesungguhnya, istri pertama kita adalah jiwa dan amal kita. Mungkin, kita sering mengabaikan, dan melupakannya demi kekayaan dan kesenangan pribadi. Namun, sebenarnya, hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia dan mendampingi kemanapun kita melangkah. Hanya amal yang mampu menolong kita di
akhirat kelak.

Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa dan amal kita dengan bijak. Jangan sampai kita menyesal belakangan.
Mumpung masih hidup
Mumpung masih sehat
Mumpung masih longgar
Mumpung masih muda

http://fadlie.blogdetik.com/?p=16

Selasa, 18 September 2012

RAHASIA DI BALIK PENCIPTAAN KEBAIKAN DAN KEJAHATAN


RAHASIA DI BALIK PENCIPTAAN KEBAIKAN DAN KEJAHATAN


Kehidupan dunia ini adalah sebuah ujian yang secara khusus diciptakan oleh Allah. Kehidupan ini merupakan sesuatu yang tidak kekal dimana manusia diuji dengan kebaikan maupun keburukan.Tentu saja terdapat, kebijaksanaan yang besar dibalik penciptaan tersebut. Sangat penting diketahui bahwa kejahatan ada disamping kebaikan, bagi orang-orang yang mengerti akan nilai dari surga. Manusia diuji dalam hal perilaku yang shaleh yang dia tampilkan, atas ijin Allah, di dalam suatu lingkungan dimana kebaikan dipisahkan dari kejahatan.

Kehidupan dunia ini adalah suatu wilayah di mana terdapat perjuangan yang berlangsung secara terus-menerus antara yang baik dan yang buruk. Namun, baik dan buruk tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dengan berdasarkan pada beberapa kriteria. Karena kebaikan dan keburukan memiliki perbedaan yang sangat jauh, menyeluruh dan memiliki perbedaan karaktar yang sangat terinci. Perilaku yang buruk sepenuhnya sesuai dengan petunjuk dari setan, sedangkan perilaku yang baik mengikuti hati nurani mereka. Keburukan tidak memiliki batasan untuk merasa takut kepada Allah, dan mampu melakukan apapun setiap saat. Ketika mereka dihadapkan suatu situasi dan kondisi tertentu, mereka mampu berbohong, melakukan fitnah terhadap orang lain, terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum, ketidaksetiaan, pengkhianatan, mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama, kebencian, iri hati, ketidakadilan, dan tipu muslihat.


Karena mereka tidak takut kepada Allah, mereka berpotensi mampu melakukan segala macam bentuk pengkhianatan dan kejahatan. Tidak ada yang dapat menghentikan mereka membunuh, sebagai contoh ketika mereka tidak mampu mengontrol diri. Semakin dia di bawah pengaruh setan, dia akan semakin menjadi jahat dalam melakukannya dan semakin mampu melakukan perbuatan yang lebih jahat lagi.

Masyarakat yang berada di bawah kendali setan akan yang menyibukkan diri dengan melakukan kesalahan, membuat hidup orang lain menderita, dan menyebarkan kegelapan, ketakutan dan kesengsaraan, bukannya menikmati keberkahan hidup. Mereka melihat kehidupan dunia ini dari perspektif yang berbeda. Meskipun mereka tahu bahwa hidup mereka sangat singkat, namun mereka memilih untuk menghabiskan jangka waktu yang pendek ini pada hawa nafsu keserakahan dan permusuhan, memikirkan kepentingan mereka sendiri. Dan sasaran mereka adalah orang-orang yang baik.

Orang-orang yang baik adalah mereka yang bertingkah laku berdasarkan rasa takut kepada Allah. Dalam pandangan mereka, bahwa seluruh keindahan yang ada di dunia ini merupakan keberkahan. Rasa takut kepada Allah membawa mereka berperilaku baik dan benar sepanjang hidup mereka, setia dan jujur, mereka tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, tidak pernah melanggar hak orang lain, menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan diri mereka sendiri, menjadi teman dan saudara bagi orang lain, dapat dipercaya, tidak memiliki maksud tersembunyi dan tidak melakukan tipu muslihat.


Orang-orang tersebut memiliki budi pekerti yang luhur di setiap saat dalam menjalani kehidupannya. Mereka selalu bersikap adil, dan mampu menjaga karakter yang dia miliki dan mampu mengendalikan tingkah lakunya. Mereka selalu berprilaku selaras dengan al-Qur’an, karena mereka takut kepada Allah. Ini adalah salah satu faktor yang membedakan antara ciri-ciri yang dimiliki oleh kebaikan dan ciri-ciri yang dimiliki oleh keburukan. Hal ini juga merupakan penyebab kejahatan melakukan permusuhan yang kekal kepada kebaikan. Karena kejahatan menyatakan perang kepada kebaikan yang berasal dari Allah, dam mereka juga membenci kepada orang-orang yang mencintai Allah.

Kehidupan dunia ini merupakan sebuah ujian dimana kebaikan dibedakan dari kejelekan, walaupun terdapat kekacauan dan kejahatan di dalam kehidupan ini, merupakan kebutuhan bagi orang-orang untuk hidup selaras dengan al-Qur’an. Hanya ketika orang-orang hidup berdasarkan keridhaan Allah, dan sesuai dengan al-Qur’an, dunia akan menjadi tempat yang sempurna untuk menjalin persahabatan, persaudaraan, kejujuran, cinta dan kasih sayang. Sebuah fakta bahwa dunia ini diciptakan sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’an juga merupakan bukti adanya keberadaan akhirat. Manusia akan diuji apakah mereka mematuhi al-Qur’an atau tidak. Dalam salah satu ayat, Allah SWT menjelaskan :
Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk Menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Surat al-Mulk, 2)
Kesempurnaan yang kekal sepanjang masa terdapat di dalam surga yang abadi yang diciptakan oleh Allah. Allah yang Mahakuasa akan melimpahkan keindahan atas kesempurnaan-Nya, bersama-sama dengan keberkahan yang paling menyenangkan, kepada orang-orang beriman di akhirat. Surga adalah sebuah tempat dimana tidak ada kejahatan, ketidaksempurnaan, kesedihan atau ketakutan, di mana kenikmatan akan diberikan selama-lamanya. Ini merupakan perwujudan keindahan yang luhur yang dimiliki oleh Allah, Dialah yang memiliki kekuatan untuk menciptakan kesempurnaan dan keberkahan yang terbaik. Sebagaimana yang Allah jelaskan di dalam al-Qur’an :
yang disaksikan oleh (malaikat-malaikat) yang didekatkan (kepada Allah). Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan, mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan. (Surat al-Mutaffifin, 21-23)

Sumber : Harun Yahya Web

Rabu, 12 September 2012

Antara Tawakal dan Usaha Mencari Rezeki yang Halal


بسم الله الرحمن الرحيم


Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan usaha halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua usaha yang mereka lakukan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezeki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10).
Dalam ayat lain Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya).” (QS. Ali ‘Imraan: 159).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…[1].
Makna Tawakal yang Hakiki
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Tawakal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata).”[2]
Tawakal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman,
رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا
“(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. al-Muzzammil: 9).[3]
Merealisasikan tawakal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya reezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).
Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya, maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya.[4]
Salah seorang ulama salaf berkata, “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut.” Kemudian ulama ini membaca ayat tersebut di atas.[5]
Usaha yang Halal Tidak Bertentangan dengan Tawakal
Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezeki yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ
Sungguh, sebaik-baik rezeki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal).” [6]
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha yang halal dan bahwa usaha mencari rezeki yang paling utama adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri.[7]
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezeki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau,
Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezeki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.[8]
Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata, “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezeki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezeki adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala (semata).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezeki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezeki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata, “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezeki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezeki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktivitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezeki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung.”[9]
Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta), dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Subnahahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu.” (QS. an-Nisaa’:71).
Dan firman-Nya,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. al-Anfaal: 60).
Juga firman-Nya,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezeki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10) [10].
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari[11], “Barangsiapa yang mencela tawakal, maka berarti dia telah mencela (konsekuensi) iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezeki, maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[12]
Tawakal yang Termasuk Syirik dan yang Diperbolehkan
Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakal adalah salah satu ibadah agung yang hanya boleh diperuntukkan bagi AllahSubhanahu wa Ta’ala semata, dan mamalingkannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik.
Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang muslim tidak tergantung dan bersandar hatinya kepada usaha/sebab tersebut, karena yang dapat memberikan manfaat, termasuk mendatangkan rezeki, dan menolak bahaya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, bukan usaha/sebab yang dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya dia melakukan usaha tersebut. Maka, usaha yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan hasil kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.[13]
Dalam hal ini para ulama menjelaskan, bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik yang dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali olah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan juga karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar,na’uudzu bilahi min dzalik.
Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam.[14]
Penutup
Tawakal yang sebenarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menumbuhkan dalam hati seorang mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.[15]
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita semua untuk mencapai kedudukan yang agung ini dan semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji dalam agama-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Rabi’ul Tsani 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A