Jumat, 28 September 2012

Membuat Anak Bangga Menjadi Muslim

FATO: mazzulfa.wordpress
Kalimat yang baik dan teladan terbaik akan membuat seorang anak mampu melakukan hal luar biasa untuk meneguhkan Islam di muka bumi. Seorang anak yang masih duduk di kelas dua SD berkata pada ibunya bahwa ia tidak ingin menjadi orang Islam. Dengan lugasnya ia berkata, menjadi orang Islam itu tidak enak. Orang Islam harus shalat lima waktu, harus lapar dan haus ketika berpuasa, tidak boleh makan ini dan itu, dan yang lebih “parah” orang Islam itu galak-galak. Kalau tidak bisa hafalan dihukum, kalau masuk masjid dan bermain di dalamnya dimarahi karena berisik dan bikin kotor masjid, dan kalau tidak shalat dipukul! “Aku nggak mau jadi orang Islam!” tegas si anak.
Sebagai seorang ibu atau ayah, semestinya kita menyadari bahwa pernyataan-pernyataan seperti itu sesungguhnya muncul dari kemampuan anak untuk menilai. Sikap ini dipicu dari keinginan hati seorang manusia untuk mendapatkan ketenangan dari “sesuatu yang Agung” yang diyakininya. Kelak, hal ini juga akan mempengaruhi sikapnya untuk meyakini sesuatu yang benar.
Membuka Dialog
Oleh karena itu, hal pertama yang harus dipahami oleh kita sebagai orangtua adalah penyebab timbulnya sikap atau pernyataan tersebut. Untuk mengetahui penyebabnya, tentu sikap yang terbaik adalah dengan tidak langsung menghakimi anak. Berkata kepada anak, “Hus, itu dosa!” atau bahkan memarahi anak hanya akan membuatnya semakin merasa bahwa menjadi orang Islam sungguh tidak enak.
Alangkah lebih baik, jika kemudian orang tua justru tidak menampakkan reaksi keterkejutan dari pertanyaan atau pernyataan anak lalu membuka kesempatan untuk berdialog. Dalam sebuah teori psikologi dikatakan, untuk dapat menyentuh hati anak, maka kita harus menerima dan mengerti terlebih dahulu pendapat mereka.
Ada baiknya kita menanyakan kepada anak, peristiwa apa yang melatarbelakangi sikapnya tersebut. Bila kemudian yang membuatnya mengatakan bahwa jadi orang Islam tidak enak karena harus mendirikan shalat lima waktu setiap hari, sebaiknya kita menanyakan kepadanya apa yang membuatnya merasa berat mendirikan shalat. Bisa jadi ia enggan shalat karena terlalu lelah.
Seorang anak pernah memohon kepada ayahnya “Ayah, aku tidak shalat Maghrib ya. Aku capek sekali.” Ternyata anak tersebut bersekolah di sekolah terpadu dan baru pulang jam empat sore sehingga ia merasa sangat lelah untuk shalat Maghrib.
Akan tetapi, apa pun jawaban yang dilontarkan oleh anak, kita harus siap menerima dan menanggapinya dengan menyenangkan. Karena, inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam manakala menasehati sahabat, termasuk anak-anak. Rasulullah selalu memilih waktu yang tepat, dalam perumpamaan yang menarik, dan sesuai dengan kemampuan penerimanya. Tak kalah penting, Rasulullah juga bersabda, “Berilah berita gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit.”(Riwayat Muslim)
Kalimat yang Baik
Begitupun segala hal yang kita contohkan kepada anak, sedapat mungkin senantiasa menghadirkan kenyamanan pada anak. Sehingga, bila ada hal-hal di luar yang mengusiknya dan bertentangan dengan hal yang didapatkan di dalam rumah, maka yang menjadi rujukan dasarnya adalah apa yang didapatnya di dalam rumah.
Seperti dalam kasus shalat lima waktu. Bila di dalam rumah anak telah terbiasa mendapatkan suasana yang menyenangkan, maka apa pun yang terjadi saat ia shalat di luar rumah, ia akan tetap meyakini bahwa shalat sesunguhnya menyenangkan.
Menggunakan kalimat yang baik dan menyenangkan, tentu adalah kunci terpenting untuk menanamkan kecintaan anak pada ajaran Islam. Karena itu, pilihlah baik-baik kalimat yang akan kita lontarkan kepada anak. Ada kalanya kita ingin mengajarkan kepada anak tentang keindahan shalat tetapi kalimat yang biasa didengar oleh anak, justru mengekspresikan betapa beratnya shalat.
Waspadalah dengan kalimat, “Waduh, sudah jam segini, pekerjaan Ibu belum selesai, mana belum shalat lagi!” atau, “Kamu jangan berisik, ayah mau shalat.” Kalimat pertama akan menghadirkan kesan bahwa shalat adalah sesuatu yang menambah beban dan kalimat kedua justru akan membuat anak merasa bahwa shalat adalah sesuatu yang memisahkannya dengan orang tua.
Akan lebih indah didengar dan dirasa, manakala seorang anak mendengar, “Pekerjaan Ibu masih banyak, sekarang Ibu mau shalat dulu, supaya lebih bersemangat,” Dengan kalimat seperti itu, anak akan mendapatkan pengertian bahwa shalat adalah penyemangat ketika lelah dan pekerjaan masih bertumpuk. Satu hal lagi, shalat itu pasti menyenangkan karena sang ibu tentu akan mengatakan kalimat seperti itu dengan wajah yang tersenyum. Berbeda dengan kalimat sebelumnya yang pasti terlontar dengan wajah tegang dan gusar.
Kalimat yang baik, inilah metode dasar memberikan pemahaman tentang Islam, termasuk pada anak. Sebagaimana yang dititahkan oleh Allah dalam al-Qur`an surat An-Nahl (16) ayat 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Kalimat-kalimat yang baik pula yang kelak akan memotivasi anak untuk mencintai agamanya dan bangga menjadi seorang Muslim. Tanpa kalimat-kalimat terbaik yang memuat motivasi kuat, seorang anak tidak akan pernah mampu memandang masa depannya dan selamanya terkungkung dalam ketidakmampuan yang membelit kedua orang tuanya saat ini.
Kisah bagaimana seorang Sultan Muhamammad Al-Fatih adalah salah satu pelajaran bagi kita tentang kekuatan kalimat yang baik. Al-Fatih yang terlahir menjadi sultan Turki di bawah bayang-bayang kekuasaan Romawi yang tak terkalahkan, setiap hari senantiasa diyakinkan oleh kakeknya, Syamsuddin Al Waliy yang juga sekaligus gurunya, bahwa suatu hari kelak ia akan menaklukan benteng Romawi yang berdiri kokoh di Konstantinopel.
Di dalam dirinya selalu dipompakan motivasi untuk menjadi sang penakluk yang kelak membawa panji-panji Islam di Konstantinopel. Padahal, ketika itu tak satupun cara yang dapat dilakukan berbagai bangsa untuk dapat menembus benteng Romawi yang kokoh tersebut. Akan tetapi, keyakinannya akan kekuasaan Allah sekaligus kebanggaannya terhadap agama yang diperjuangkannya, menjadikannya yakin bahwa janji Allah di surat Ar-Ruum ayat 1-2 pasti akan terwujud.
Terbukti kemudian Al-Fatih mampu merebut benteng Konstantinopel dengan strategi spektakuler yang tak pernah diduga siapapun.
Inilah kekuatan kalimat-kalimat yang baik. Kalimat-kalimat yang menanamkan pemahaman tentang indahnya Islam, hingga membuat seorang anak bangga menjadi seorang Muslim. Kalimat yang baik juga teladan terbaik yang membangkitkan kekuatan luar biasa yang ada di dalam dirinya untuk kemuliaan Islam di hari esok. *Kartika Trimarti, penulis ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat. SUARA HIDAYATULLAH, AGUSTUS 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar